MENYONGSONG HUT KOTA YOGYAKARTA KE 261 WARGA GONDOKUSUMAN MENGGELAR ENAM DALANG

Kemeriahan Hari ulagtahun Kota Yogyakarta memang milik Masyarakat Kota Yogyakarta, hal ini dapat dilihat langsung semua warga Kota Yogyakarta dapat mengekpresikan segala bidang seni dalam ulang tahun Kota Yogyakarta yang ke 261 tersebut, dalam bentuk Pawai Budaya. Pawai Budaya pada tahun ini sangat meriah, sebab melibatkan semua warga Kota Yogyarta tanpa terkecuali, baik warga Masyarakat, Kantor Pemerintah maupun Swasta.

Kemeriahan Pawai budaya ini juga dapat dipenghujung pengagungan Pesta rakyat HUT Kota Yogyakarta di Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta, dengan menggelar Pawai Potensi budaya yang ada di Masyarakat Gondokusuman, baik yang bersifat tradisional, modern, maupun kontenporer. Pawai budaya yang melibatkan ribuan warga Kecamatan Gondokusuman ini, malamnya dilanjukan dengan pagelaran wayang Kulit Spektakuler dengan menampilkan 6 dalang tiga Kelir. Pawai yang belangsung Sabtu (30/09) tersebut, dimulai dari Komplek LPP, menuju Lapangan Mac Donal, komplek Ngebanan Gondolayu.

Pagelaran wayang Kulit spektakuler ini dengan menggelar Lakon Banjaran Bimo, yang dikomandani dalang muda Ki Catur Benyek Kuncara, Lakon yang mengisahkan perjalanan Bimasena, dari lahir sampai akhir hayatnya ini diceritakan, dan dikemas dengan apik oleh Ki Dalang Catur Benyek Kuncara, namun sebelum menggelar lakon tersebut, Wakil Walikota Yogyakarta Heroe Poerwadi berkenan menyerahkan wayang Tokoh Bima Kepada Ki Dalang Catur Benyek Kuncara.

Dalam sambutanya Wakil Walikota Yogyakarta mengatakan, dengan digelarnya pawai budaya ini memberikan peluang kepada warga Masyarakat Kota Yogyakarta untuk mengekpresikan berbagai macam budaya Lokal yang ada dan berkembang di Masyarakat, sebab dengan demikian Pemerintah Kota Yogyakarta telah membuktikan telah ngleluri dan ngiri-uri budaya tradisional yang ada di Kota Yogyakrata.

“Dengan mereka bisa tampil dipanggung Kesenian seperti ini, menggugah para warga masyarakat utuk tetap menjaga kelestarian budaya yang adiluhung ini, artinya budaya tidak bisa mati begitusaja, sebab warga masyarakat sendiri yang menjaga kelestariannya, disamping itu juga wraga masyarakat juga membuktikan bahwa Yogyakarta ini sebagai Penjaga Budaya”, kata Heroe.

Ditambahkan, menjaga budaya tidak saja terhenti pada menjaga budaya kesenian, namun menjaga budaya bersih tidak kalah penting, sebab Kota Yogyakarta sebagi kota Pariwisata, semestinya harus menjaga kebersihan itu sendiri, sebab dengan Kota Yogyakarta yang bersih, akan mebuat betah para pelancong, dan menguntungkan warga masyarakat itu sendiri.

“Kami telah memulai Budaya bersih ini dengan Membersihkan Malioboro beberapa hari yang lau bersama beberapa unsur, Malioboro sudah semakin bersih, bahkan nanti kedepannya setiap hari Selasa Wage semua pedagang libur dan tempat berjualan dibersihkan, agar malioboro semakin bersih dan indah. Selain Malioboro, kami juga telah membuat gerakan Kegiatan Minggu Legi, gerakan ini memang menyasar tentang kebersihan lingkungan, namun tidak terhenti pada sampah-sampah yang telah dikelola oleh masyarkat, namun juga sampah visual, yang tidak ada ijinnya, ijin sudah kadaluwarsa, serta sampah visual yang sudah tidak layak. saya berkeinginan ini nantinya menjadi budaya kita, agar kebesihan itu benar-benar bisa dirasakan oleh semua pihak”, tandas Wakil Walikota.

Sementara itu Camat Gondokusuman, Jalaludin mengatakan, Menjaga Budaya tidak saja terhenti pada pentas atau Pawai saja, namun bagimana budaya bisa bersinergi dengan perkembanagan jaman, namun tidak melenceng dari tujuan awal budaya atau kesenian itu sendiri.

Jalaludin menggambarkan dengan pementasan wayang kulit spektakuler yang digelarnya, dengan memodifikasi tampilan tata cahaya yang maksimal, dan garap gending yang mengikuti perkembangan jaman, niscaya budaya tradisional ini tetap saja akan diterima oleh masyarakat.

“Pementasan Wayang Kulit pada malam hari ini memang sedikit berbeda dengan penampilan wayang kulit sebelumnya, tebukti pada malam hari ini kami menampilkan enam dalang sekaligus, dalam tiga panggung, tekhniknya, masing masing panggung atau kelir diisi oleh dua dalang yang saling berhadapan, dengan tata cahaya yang luarbiasa, terbukti bisa diterima warga masyarakat, namun sekalipun ini wayang spektakuler, tetap saja pada pakem-pakem yang sudah ada, dan wayang tetap saja menjadi tontonan dan tuntunan, tanpa meninggalkan pakem pakem yang telah digariskan”, imbuh Jalaludin. (And)