Pentingnya Pengawasan dan Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Bidang Pemberdayaan Perempuan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMPPA) Kota Yogyakarta menyelenggarakan kegiatan Pelatihan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada hari Senin (24/7) bertempat di Gedung PKK Balaikota Yogyakarta. Kegiatan ini sebagai wujud komitmen Pemerintah Kota Yogyakarta dalam melaksanakan gugus tugas pencegahan dan penanganan TPPO.

Pelatihan ini diikuti oleh aparatur penegak hukum yaitu perwakilan-perwakilan dari 14 Polsek Kota Yogyakarta, 14 Kepala Seksi Pemerintahan, Ketentraman dan Ketertiban Kecamatan Kota Yogyakarta, jajaran Kejaksaan Negeri, perwakilan dari Praktisi Advokat Yogya dan Polresta Yogyakarta. Acara ini dibuka oleh Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan DPMPPA Kota Yogyakarta, Bebasari Sitarini SP, MMA.

 “Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia dan juga salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Untuk itu, melalui kegiatan  ini mari kita bersinergi, saling diskusi, bahu membahu mewujudkan Kota Yogyakarta Berhati Nyaman yang salah satunya dengan melakukan berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang,” katanya

Briptu Dian Ratna dari Tim PPA Polresta Yogyakarta menjelaskan berdasarkan bukti empiris catatan Polresta Yogyakarta, Yogyakarta termasuk  salah satu kota yang rentan terhadap aksi kejahatan TPPO. Perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban TPPO, termasuk untuk tujuan prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya.

Lebih lanjut dijelaskan berdasarkan pengalaman melakukan penyelidikan terkait beberapa kasus TPPO, penyebab perdagangan manusia antara lain KDRT, masalah ekonomi  berupa  kemiskinan, terjerat hutang serta  gaya hidup konsumtif, rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak, pengaruh gadget dan atau media elektronik, tingkat keamanan yang rendah sehingga peluang-peluang itu diambil oknum-oknum tidak bertanggungjawab.

 “Modus operandinya bermacam-macam, bisa penculikan anak atau adopsi illegal. Untuk prostitusi biasanya dengan iming-iming kerja di kota besar dengan gaji yang menarik, dipekerjakan di lokalisasi terselubung bisa dipanti pijat, tempat spa, karaoke dan sebagainya,” kata Briptu Dian Ratna.

Selama ini penanganan perkara pidana terlalu berorientasi pada tersangka atau terdakwa sementara hak-hak korban sering diabaikan. Dalam rangka perlindungan hukum bagi korban, mengacu pada UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dalam penegakan hukum TPPO, mutlak diperlukan pembuktian. Namun hingga saat ini kasus-kasus TPPO di Indonesia selalu terkendala dengan sulitnya pembuktian.

“Dengan adanya UU No 21 Tahun 2007 ini diharapkan dapat menekan kasus perdagangan orang karena hukuman pidana yang diatur dalam aturan ini cukup berat, yaitu minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun. UU ini juga telah mengatur perlindungan dan hak-hak yang bisa diakses saksi dan korban perdagangan orang,” ujar Anik Setyowati Saputri, SH, MHum dari praktisi Advokat Jogja yang juga turut hadir sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut.

Siti Hartati, SH, MH, narasumber dari Kejaksaan Negeri Kota Yogyakarta menyampaikan bahwa kejaksaan mempunyai peran dalam penuntutan dan eksekusi. Terkait  Restitusi yaitu pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya. “Restitusi bisa melalui mekanisme hukum pidana maupun perdata, dan restitusi ini dicantumkan dalam amar putusan pengadilan, apabila terpidana tidak mampu membayar restitusi, maka dikenakan pidana kurungan pengganti paling lama 1 tahun.”, ujarnya.

Namun restitusi sebagai hak korban masih menjadi satu aspek yang luput dari bagian penegakan hukum TPPO. “Masih sedikit kasus yang mengabulkan restitusi, hal ini terkendala restitusi didasarkan pada kerugian riil yang diderita korban dengan didukung bukti-bukti, tanpa bukti restitusi sulit dibuktikan, dan korban belum mengetahui tentang restitusi.”, imbuhnya.

Sementara itu, dari Satpol PP kota Yogyakarta, yang diwakili Christiana Suhantini, SP selaku Kepala Bidang Penegakan Peraturan Perundang-Undangan menyampaikan tentang komitmennya untuk berperan aktif dalam pengawasan dan pencegahan TPPO. Sebagai unsur pembantu pemda dalam penyelenggaraan urusan ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat selalu melakukan pengawasan melalui kegiatan operasi mandiri maupun operasi gabungan khususnya PSK, Gelandangan dan Pengemisan. Dari hasil tersebut, pelanggar didata dan diperiksa, jika terindikasi ada unsur perdagangan orang, maka akan dikoordinasikan dengan instansi terkait untuk ditindaklanjuti.

Dalam kasus TPPO, sangat jarang permohonan perlindungan yang diajukan sendiri oleh korban, melainkan melalui aparat penegak hukum maupun lembaga pendamping saksi dan korban. Kondisi ini menunjukkan sinergitas antar penegak hukum sudah terbangun. Yang perlu dilakukan sekarang adalah upaya-upaya pengawasan dan pencegahan TPPO. Yaitu bagaimana mengedukasi dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat untuk meningkatkan kepedulian dari warga terhadap kemungkinan terjadinya TPPO di wilayah kampungnya.  ( Emaculata Dewi /DPMPPA Kota Yogyakarta)