KOTA YOGYAKARTA TUAN RUMAH APEKSI 2010

Kota Yogyakarta menjadi tuan rumah Rakerkomwil III (rapat kerja komisariat wilayah) Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia) 2010.  Pertemuan yang diikuti oleh 24 Kota di Indonesia ini berlangsung selama 3 hari (5-7 Mei) di Hotel Melia Purosani Yogyakarta. Selain Walikota dari masing-masing daerah pertemuan ini juga dihadiri asisten pemerintahan, bappeda, tata pemerintahan dan dinas lingkungan hidup setempat. Rapat kerja mengangkat tema “Melalui Rakerkomwil III APEKSI Kita Tingkatkan Kualitas Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Kota dalam upaya Mengatasi Dampak Pemanasan Global”. Menghadirkan pembicara staf ahli bidang ekonomi dan investasi Kementrian Pekerjaan Umum Ir.Setyabudi Al Gamar, staf khusus menteri PU Prof.Dr Danang Parkesit, Walikota Yogyakarta Herry Zudianto, dan Asisten Pemerintahan Jakarta Pusat Drs H. Usmayadi.

Rapat kerja mengusung agenda utama tentang isu pemanasan global dan perubahan iklim secara umum, dampak perubahan iklim terhadap lingkungan hidup dan kawasan perkotaan, termasuk infrastruktur pekerjaan umum dan pemukiman, kebijakan terkait perubahan iklim, serta pentingnya peningkatan kualitas lingkungan hidup dan penataan ruang kota dalam menghadapi dampak pemanasan global dan perubahan iklim.

Dipaparkan oleh Walikota Yogyakarta Herry Zudianto, untuk mewujudkan kota yang ideal di Yogyakarta dimulai dari kampung yang ideal. Pemukiman mayoritas di Kota Yogyakarta berupa pemukiman non formal terutama dikenal sebagai kampung. Kampung merupakan tempat berinteraksi masyarakat yang utama melipiuti aspek sosial, budaya, agama dan ekonomi. Dalam rangka penataan permukiman kurang layak huni Kota Yogyakarta memiliki beberapa best practices yang meliputi aspek fisik, sosial dan ekonomi. Aspek fisik seperti MCK dengan fasilitas water purifer, keramikisasi MCK, sistem jaringan limbah terpusat dan IPAL komunal, penghijauan kampung dan pemilahan sampah serta PJU kampung. Aspek sosial seperti ruang terbuka hijau, perpustakaan RW, posyandu balita dan lansia, PAUD, bantuan paguyuban kesenian dan block grant LPMK. Sedangkan aspek ekonomi berupa pengembangan ekonomi wilayah di 45 kelurahan.

Sementara Setyabudi mengatakan, wilayah perkotaan menjadi penyumbang utama terhadap perubahan iklim, karena kegiatan yang ada di perkotaan merupakan sumber utama dari emisi gas rumah kaca seperti kegiatan industri, komersial dan rumah tangga, transportasi, tempat pembuangan, dsb.

“Secara global kawasan perkotaan menyumbang lebih dari setengah emisi GRK (gas rumah kaca) dan dua per tiga dari konsumsi energi. Sektor transportasi menyumbang 24% emisi GRK, 74% diantaranya dari transportasi darat. Pertumbuhan ekonomi menyebabkan jumlah kendaran juga semakin banyak sehingga semakin meningkatkan emisi GRK di negara berkembang seperti di Indonesia. Emisi tersebut tidak hanya menyebabkan perubahan iklim namun juga masalah polusi lokal dan regional . Industri menyumbang 43% emisi GRK global, sedangkan sektor bangunan menyumbang 30% emisi GRK. Selain itu berkurangnya tutupan ruang terbuka hijau di perkotaan mengurangi kemampuan kota tersebut untuk menyerap karbondioksida dan GRK lainnya.

Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X ketika membuka rapat kerja ini mengatakan, Dampak naiknya suhu permukaan bumi ini akan mengakibatkan Indonesia sebagai negara kepulauan terancam kehilangan pulau-pulau kecil yang tenggelam, serta kota besar akan kehilangan kota pesisir sehingga daratan akan mengecil. Jika tidak ada tindakan untuk mereduksi emisi GRK maka pada 2030 Indonesia diperkirakan akan kehilangan sekitar 2000 pulau. Karenanya menurut Sultan, untuk mengurangi dampak pemanasan global, gaya hidup selaras dengan alam perlu dilakukan oleh masyarakat dengan dukungan pemerintah, yang dalam konteks raker ini harus menyusun tata ruang kota yang selaras dengan alam guna meningkatkan kualitas lingkungan hidup.  (ism)